‘ not strong enough to be your man. ’

rajasha meer
5 min readJan 12, 2024

Dunia Anton berporos kepada seorang lelaki dengan senyuman malaikat serta surai gelapnya yang begitu halus, Park Wonbin.

Jika bisa mengorbankan satu menit sisa hidupnya, mungkin ia akan menghabiskan kehidupan itu untuk menatap sang pujaan hati. Akan ia bagi setengah hidupnya untuk memuja Wonbin. Seolah ia adalah anak Tuhan yang paling mulia, makhluk cantik yang tidak akan pernah bosan ia pandangi.

Andai saja pria tersebut mengerti perihal seluruh rasa yang terlalu besar untuk ia tampung. Anton selalu dianggap sebagai adik kecil.

Sepasang manik bagai mutiara di dalam tiram, tidak pernah sekali saja memberi validasi atas hati Anton. Ia berkata, bahwa perasaan sang pemuda hanya bunga kapas yang sebentar saja akan hilang ditiup angin.

Hingga pada akhirnya, mereka berdua hanya bisa mengakhiri pembicaraan dengan tawa canggung dan komedi khas orang tua.

Meskipun begitu, Anton tidak akan pernah sanggup menghusir Wonbin dari benaknya. Seperti ada tarikan yang membuat Anton jatuh kesekian kalinya, tenggelam ke laut dalam.

Minggu kedua mereka tinggal bersama di unit apartemen milik Anton, lagi-lagi sang pemuda dibuat repot. Ia menemukan sang kakak dengan baju berlumuran cairan berwarna merah pekat.

Wonbin yang selalu terjebak dengan pelarian, kini harus membuat sang adik tingkat menampung dirinya. Ini sering terjadi. Sebab, bahkan kedua orang tuanya tidak mau menerima seorang putra mereka yang menolak norma dunia. Hanya rumah Anton tujuan ia berpulang dan beristirahat sejenak dari beban tuntutan semua orang.

Ia menghembuskan asap dari sigaret di antara ranumnya. Menyesap lamat racun tersebut, berusaha meringankan isi kepalanya yang campur-aduk. Kedua tangan pemuda berparas jelita itu masih sedikit gemetar. Wonbin duduk di atas toilet, sedangkan Anton mengambil satu benda tajam kecil yang terjatuh di lantai.

“Maaf.”

“Engga usah minta maaf. Lain kali kalau mau keluar, bilang sama aku ya, Kak,” ucap Anton dengan suara subtilnya yang khas.

Begitu banyak sabar lelaki itu, selalu bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan amarah atas perlakuan Wonbin. Padahal ia tahu bahwa Anton pasti lelah karena pekerjaan paruh waktu yang baru saja ia selesaikan.

Masih memakai kemeja putih yang basah karena hujan, ia bolak-balik membasahi kain untuk membersihkan sedikit bercak pekat di lantai.

Runtuh seluruh isi hati Anton ketika ia menyadari bahwa dirinya kembali gagal. Gagal untuk menjaga sang pujaan hati agar dunia tidak mengusiknya, tidak menyentuh sang juwita yang jarang sekali tersenyum bahagia.

“Kenapa bisa luka begini?”

Tidak. Anton tidak berbicara tentang kumpulan gores tinta merah segar di pergelangan tangan Wonbin, namun sang lelaki lebih dahulu menyembunyikan lengannya ke belakang tubuh. Padahal, Anton bertanya perihal lebam dan luka di pipi serta ujung bibir Wonbin.

Tangan Anton terjulur untuk menyentuh lebam pada wajah pria bersurai gelap itu. Mengelus perlahan, membuat Wonbin memejamkan mata. Jujur saja, sentuhan kecil dari Anton mampu membuat hatinya sedikit tenang. Memberi tanda bahwa ia sudah di tempat yang aman.

“Tadi aku nabrak seseorang pas lagi di minimarket. Mau belanja untuk makan malam kita berdua. Tapi ternyata dia marah, mukul aku,” jelas Wonbin masih bisa terkekeh.

Anton berdiri di hadapannya yang duduk di atas toilet.

Ia menatap ke bawah, ada amarah di sana. Namun, seperti Anton yang selalu Wonbin kenal — ia masih penuh kelembutan. Sang lelaki jangkung menghela nafas sebelum dengan ragu mengelus surai tebal yang lebih tua. Menyisir helaian halus tersebut penuh sayang sebelum menenggelamkan kepala Wonbin ke pelukannya.

Wonbin tidak mengeluarkan protes sama sekali, justru ia sedang memejamkan mata dan berusaha menahan bulir air mata yang bisa terjun kapan saja.

You don’t have to worry,” ucapnya mencoba menenangkan mahasiswa dengan warna surai terang tersebut.

I know it hurts, do not lie to me. Aku mau obatin Kakak.”

Anton bisa merasakan getaran di tubuh Wonbin, menunjukkan bahwa pemuda itu kembali terkekeh. Tetapi, kala ia menangkup pipi dan melihat wajah pujaan hatinya — justru Anton menangkup bahwa kedua pipi sang pemuda sudah basah.

Ia menangis tanpa suara. Sebab, daksanya sudah terlalu banyak menahan luka. Tidak sanggup lagi mengeluh. He feels so numb.

Mengapa dunia bisa begitu kejam pada insan baik seperti Wonbin? Ia berhak mendapatkan hal-hal indah di dunia ini. Setiap lembaran yang penuh bahagia dan penghujung terbaik dari ceritanya.

“Kenapa baju Kakak kotor?”

“Bukan darah aku aja yang ada di situ,” lirih Wonbin membawa sedikit lega bagi Anton.

Sekelebat peristiwa yang ia alami kembali Wonbin ingat. Bagaimana sebuah kepalan tangan menyerang wajahnya dengan cepat, memberi peringatan kembali bahwa ia tidak pantas hidup tenang setelah dosa yang ia perbuat.

Wonbin anggap setiap luka pada tubuhnya sebagai tebusan. Ampunan dari Tuhan dan orang tuanya.

Ia merasa bersalah kepada Anton yang selalu repot-repot membersihkan kekacauan. Sang lelaki terlalu muda untuk ia torehkan noda. Terlalu lugu untuk seorang Wonbin yang telah mencicipi rasa pahit selama hidupnya.

Juwita itu tersadar dari lamunan ketika Anton sudah berlutut di hadapannya, menatap guratan baru pada lengannya. Menelisik setiap luka sang pelukis merah dengan wajah sendu. Ia mengelus lembut telapak tangan Wonbin.

“Aku bersihkan.”

“Engga usah, An — ”

I won’t let you go out again if you don’t listen to me,” ancam Anton membuat pria itu terbungkam.

Mereka terjebak dalam sunyi kala Anton membersihkan luka sang pemuda. Hanya ringisan kecil dari bibir Wonbin yang terus muncul.

Can you hold it? Should I stop?

Wonbin menggeleng. He can hold this amount of pain. He used to it.

Dengan telaten Anton balut perban pada lengan sang pujaan hati, berharap jika itu menghentikan Wonbin untuk menyentuh kembali lukanya.

“Terimakasih.”

Anton mengangkat kepala, mempertemukan kembali iris gelapnya dengan milik Wonbin, yang begitu cantik dan bulat. Hati dan kepalanya berseteru. Ia kembali mengerti, mungkin ini alasan mereka tidak bisa bersatu.

Ia masih belum bisa menjadi pria yang cukup kuat untuk menghapus semua sedih dari wajah Wonbin. Ia juga belum cukup untuk membuat Wonbin lupa akan segala labirin yang harus ia lalui. Anton pun belum mampu menjadi alasan sang pemuda tersenyum bahagia.

Kepalanya terjatuh di atas kaki Wonbin, membiarkan yang lebih tua mengelus lembut surai merahnya. Dalam ketenangan itu, Anton hanya bisa berandai suatu hari nanti ia akan mengetahui alasan yang jelas soal segala mungkin di antara mereka.

Seiring jarum jam berputar, Anton larut ke dalam bunga tidur. Ia tidak menyadari bahwa ada dentuman dan desiran hangat di dalam dada seorang pria yang tengah menahan diri untuk tidak jatuh kepada pesonanya.

Namun, melihat wajah damai Anton, Wonbin kembali teringat puluhan alasan serta pagar yang telah ia bangun tinggi-tinggi. Ia tidak ingin menyakiti pemuda tersebut.

Ia biarkan hadir mereka terhadap satu sama lain sebagai hal yang cukup. Meski Tuhan tahu, bahwa mereka menginginkan lebih dari itu.

End.

--

--

rajasha meer
rajasha meer

Written by rajasha meer

RPS 18+ ; mid heaven & hell, full of your sweet desire.

No responses yet