we will find a way to love each other again.
written by juvenesheets — part of leodri universe
Audrien tidak menyukai seseorang yang bungkam. Ide dari insan yang selalu mempersiapkan sebuah kunci rapat, siap mengunci dan menelan semua perasaannya sendiri adalah hal buruk.
Meskipun begitu, ia mencoba untuk mengerti. Sebab, hingga usia hubungan mereka terhitung lama —Leonardo Ares masih mempertahankan gengsinya untuk berbicara. Seolah ia lahir dengan konsep tersebut.
Komunikasi adalah kunci dari suatu hubungan, begitu katanya. Audrien terkekeh. Mulai sekarang ia harus menempelkan kalimat itu di setiap sudut ruangan mereka.
Tetapi untuk sekarang, ia harus melupakan rasa jengkelnya dan juga emosi yang telah Audrien simpan sejak beberapa hari lalu. Khawatir serta cemas menyirami hati pemuda tersebut akibat kabar Leonardo yang jatuh sakit setelah pergi tanpa kabar ke Negeri Pasundan.
Mengendarai motor vespa berwarna biru muda, ia melesat menuju daerah indekos Leonardo. Sampai lah ia di sebuah bangunan dua lantai dengan beberapa kamar. Tempat parkir tampak sepi, sepertinya karena para mahasiswa juga tengah menikmati liburan.
Ia parkir di depan kamar bernomor ’007' pada lantai bawah.
Audrien merapikan surai kecoklatan miliknya yang sudah menutupi hingga ceruk leher. Tangan musisi itu meraih satu kantong magelangan yang masih panas.
Kedua alis mahasiswa tersebut terangkat, kala menyadari kedua jendela kamar kos sang kekasih tidak ditutup. Begitupun pintunya yang terbuka setengah. Dari dalam, terdengar suara seseorang yang tengah mendengus pelan.
“Leo?”
Seorang pemuda bersurai hitam legam, mempesona bagai langit malam, terduduk sila di pinggir ruangan. Ia mengangkat kepalanya selagi melirik siapa yang bertamu.
Leonardo, pemuda dengan fitur tegas yang khas itu merasa malu sekali karena Audrien datang pada saat ia tengah kacau. Berlapis-lapis tisu ia tekan pada hidungnya yang baru saja mengeluarkan cairan merah tidak terlalu kental. Suhu tubuhnya yang panas, putaran di kepala, serta rasa lelah telah memacu reaksi ini.
Ini bukan pertama kali. Tapi, Audrien masih tetap bergegas dengan cekatan menekan tisu agar menahan pendarahan dari hidung kekasihnya.
Khawatir betul-betul terpatri di wajah indah itu. Leonardo terkekeh miris. Ia jadi merasa semakin bersalah.
“Lo kok bisa masih mau beresin kamar pas demam tinggi begini? Sakit tuh istirahat, Leo.”
Helaan nafas keluar dari mulut Leonardo. Ia pandangi kondisi kamarnya yang terlihat seperti kapal pecah. Baju kotor dan juga bersih bercampur kemana-mana. Buku referensi serta berbagai alat tulis, hingga barang lainnya ikut terhempas di setiap sudut kamar kos.
Setelah berhasil menggulung dua buah tisu untuk disematkan pada lubang hidungnya, hati Leonardo merasa lega. Apalagi dengan kehadiran Audrien yang secara tiba-tiba.
“Gue bersihin sama rapiin kamar karena takut lo datang. Engga nyaman, Dri.”
Pemuda berparas elok di hadapannya lantas mendelik tidak suka. “Lo mau gue makin marah?”
Leonardo mengulas senyum manis.
Wajah menawan miliknya pucat. Lelah terlukis jelas, namun ia tetap menyisakan sedikit tenaga untuk tetap membuka mata untuk menemani Audrien.
“Maaf, sayang.”
Rona bersemi di wajah Audrien samar-samar. Ia melirik sang kekasih yang berpakaian seadanya. Sebuah kaos barong abu-abu dengan warna yang hampir luntur dan celana batik panjang membalut kakinya yang jenjang. Sebuah kalung bermutiara warna-warni buatan tangan Audrien melingkari leher sang pemuda. Dasar musisi nyentrik.
“Mau ngobrol?” tanya Leonardo.
We should. “Kalau lo pusing banget, jangan. Gue gamau bikin lo makin sakit, Leonardo.”
Lelaki yang lebih tua menggeleng. Ia bertekad ingin memberitahu semua yang membuat dadanya sesak. Setiap rangkaian peristiwa yang membangun jarak di antara mereka. Karena, Leonardo tidak tahan menapak di bumi tanpa bukti eksistensi Audrien di sisinya.
“I can. I want to,” ujar Leonardo menatap kedua iris madu Audrien tanpa ragu.
Audrien hanya membalas dengan senyuman kecil, ia menutup pintu dan kedua jendela kamar Leonardo. Lalu, berjalan untuk menyalakan kipas angin.
“Sambil makan, ya? Abis itu lo minum obat,” bujuk Audrien duduk menyender ke kasur kekasihnya, lalu menepuk sisi sebelah yang masih kosong.
Tangan porselen milik Audrien dengan telaten menyiapkan piring serta sendok lalu mengeluarkan makanan dari bungkus. Sedangkan Leonardo, masih terdiam pada sudut ruangan. Ia terperangah dengan niat Audrien yang sempat membeli seporsi magelangan untuknya.
Hati pemuda itu benar dibuat lemah. Bahkan, ketika situasi mereka sedang sedikit hitam — Audrien tidak pernah berubah. Ia masih penuh perhatian dan memikirkan Leonardo dengan baik.
Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk di samping Audrien. Mereka terjebak dalam sunyi, ketika yang lebih muda masih sibuk mengaduk nasi serta mie yang masih mengepul panas.
Leonardo manfaatkan waktu tersebut untuk kembali memuja sosok Audrien. Wajahnya yang tampak lembut, bermata cantik, hidung bangir, dan bibir merah muda tebal. Ia adalah dewi di hati Leonardo. Tuhan buat ia indah, dalam paras hingga sifat.
Sebuah sendok berisi magelangan sudah hadir di depan mulut Leonardo. Audrien menatap dengan antusias, ia akan sangat berterimakasih jika sang kekasih mau makan dengan lahap.
Mulut terbuka dan akhirnya Leonardo berhasil mengunyah santapan lezat itu.
Satu gigitan, dua gigitan, tiga gigitan.
“Le? Loh, kok nangis?”
Audrien bangkit cepat untuk mengambil tisu, berusaha menghapus bulir air yang terus turun dari sepasang mata pemuda yang ia cintai. Leonardo tiba-tiba saja terisak. Bukan sedih yang menyelimutinya, tetapi rasa syukur dan hangat.
Selama beberapa hari ini, ia terus merasa ketakutan. Tidak mau jika Audrien pergi menjauh, menatap penuh benci. Leonardo penuh kekurangan. Ia jauh dari kata sempurna ketika banyak insan di luar sana yang memujanya bagai dewa.
Rengkuhan Leonardo terima setelah ia berhasil menelan makanan susah-payah. Kedua tangan Audrien membalut lalu mengusap pundaknya yang terasa berat, seolah berusaha membuat semua hal yang ia rasakan menguap. Lalu, desusan penenang ia bisikkan dengan merdu di telinga Leonardo.
“Kamu boleh cerita apa aja, Leo. I promise I will listen. I won’t leave you. You can cry as much as you want. Gue di sini buat bikin lo tenang.”
Benang kusut di dalam kepala Leonardo adalah hal yang berusaha pemuda itu hindari setiap waktu. Ia berusaha keras memintal rapi setiap benang di dalam hidupnya, sangat keras, hingga terkadang ia terjebak di dalam ruang sepi. Sendirian, tidak mau diberi gangguan.
Leonardo berubah menjadi sosok yang tidak banyak bicara. Ia berusaha melakukan semuanya sendiri, sedikit melupakan bahwa Audrien selalu menunggunya di ujung jalan. Berharap jika ia bisa meraih lebih dahulu. Memberikan afeksi dan kata penuh cinta, seperti Leonardo yang ia kenal.
Egois.
Tetapi, pada akhirnya ia akan jatuh sakit karena terlalu keras berusaha.
“Gue capek, Dri. Gue lupa diri, terlalu sibuk sama kuliah gue sampai lupa kalo gue punya lo sebagai tempat istirahat gue untuk sementara. That’s why I keep cancelling our dates.”
Jemari Audrien menyisir surai hitam Leonardo dengan lembut. Dia tahu, sang kekasih mudah terdistraksi. Jika terlalu banyak gangguan, benang ruwet di dalam kepalanya akan menggumpal besar dan menimbulkan keinginan buruk di dalam hati pemuda itu.
Keinginan untuk berlari, menyakiti dirinya sendiri dengan setiap hal di dalam kamar ini, dan lain-lain.
“Gue berusaha keras, Dri. Gue beneran udah berusaha untuk engga nyakitin lo. But, I know I did it again. I’m so sorry.”
Leonardo selalu berusaha untuk tidak gagal menjadi seorang pria. Namun, hari ini ia banyak menangis. Kemarin pun begitu.
“Gue ke Bandung karena Ibu dan Ayah tiba-tiba nyuruh gue ke sana. Gue kira salah satu dari mereka sakit, akhirnya gue datang buru-buru ke Bandung. I know I leave you alone in hospital. Gue minta maaf, Audri. Bahkan, gue engga sempat pamit ke Bunda kamu juga,”
Leonardo menunduk.
“Pas gue ke sana, yang gue fikirin ya kamu. Tapi taunya, Ibu nyuruh gue pulang karena pengen kenalin gue sama perempuan. Namanya Mba Ines. Cantik dan baik. Tapi, gue bilang ke Ibu kalo misalnya engga ada yang bisa ganti kamu di sini,” lanjut sang pemuda, menyentuh dadanya.
Seolah detak jantung miliknya selalu bersatu dengan Audrien.
Bandung memang cantik. Banyak wanita di sana yang memikat mata, namun Leonardo masih tetap dalam janjinya.
Membahagiakan Audrien hingga mereka berjalan bersama menemui penghujung yang telah ditulis oleh Tuhan. Tidak akan ada yang bisa menyangkal kekasih yang dipilih oleh hati Leonardo sendiri, sebab baginya — Audrien masih yang paling indah.
“Ibu dan Ayah mengerti. Mereka bilang gue boleh pulang. Gue boleh bareng terus sama lo, Dri. Asal gue bahagia.”
Leonardo tahu sejak awal, ia akan terus bahagia asal Audrien Louis adalah orang yang menjadi pendamping hidupnya.
Dua pasang mata itu saling menatap. Hanya ada kesungguhan di sana. Audrien mengelus pipi pemuda yang lebih tua. Memang mereka selalu mengalami masalah kecil seperti ini, namun ia tidak akan pernah bosan memberi maaf.
Sebab, Leonardo adalah lelaki baik yang juga tidak pernah lelah memberikan usaha.
“Maafin gue, Audri.”
Kening mereka saling menempel, kedua mata anak Adam itu juga menutup rapat. Audrien tersenyum lembut.
“Gue maafin lo, Leo. I forgive you. Makasih udah mau jujur sama gue, ya. Gapapa, kita usaha untuk berubah pelan-pelan. I will always wait for you, please tell me if you need some space and time to get yourself better. Engga ada cinta yang sempurna. With every mistakes, we will learn slowly. I will walk with you and we will be fine,” ucap pemuda bersurai madu nyaris berbisik.
We will be fine.
“Jangan pernah lupa kalo ada gue di sini buat lo, Leo.”
Rinai air mata kembali membasahi kedua pipi Leonardo, kini dengan Audrien yang menyusul. Ia memberikan kecupan lembut di kedua kelopak mata Leonardo, membubuhi pipi hingga sudut bibirnya dengan ciuman kasih sayang.
Mereka berdua bukanlah insan yang sempurna. Leonardo yang terkadang penuh akan gundah hingga sifatnya yang gemar mengisolasi diri sendiri, lalu Audrien yang selalu berusaha menghidupi dirinya pada saat sang Ibunda terbaring di rumah sakit.
Namun, mereka berusaha mengobati setiap pecahan dari tubuh satu sama lain. Besar maupun kecil.
Saling berbagi hangat dan kasih sayang, hingga semuanya menjadi lebih baik sedikit demi sedikit.
“I love you, I really love you, Audri.”
Audrien mengangguk.
“I really love you too, Leo.”
Amarah telah sirna. Leonardo kembali berpulang ke rumah yang selalu ia rindukan keberadaannya. Pelukan Audrien, hangat pemuda itu , dan semua tentangnya yang tidak akan pernah padam.
End.